Pilpres sudah di depan mata. Meski koalisi yang mungkin terbentuk masih cair, namun calon presiden sudah mengerucut menjadi tiga nama. Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Hasil survei sejumlah lembaga kredibel memperlihatkan hasil yang sama. Prabowo dan Ganjar berada pada posisi 1-2 (dalam selisih margin), dan Anies Baswedan tercecer di urutan ketiga dengan perbedaan angka yang cukup signifikan.
Lalu, jika pilpres dilakukan hari ini, apakah itu berarti Prabowo dan Ganjar bersaing head to head? Lalu siapa pemenangnya? Rupanya, tidak sesederhana itu. Masih ada banyak variabel yang membuat pilpres kali ini cukup menarik. Bahkan, meski paling buncit, justru bisa disebut Anies lah yang akan menang banyak, meski tidak menjadi presiden. Lho, lho, lho, gak bahaya ta?
Mari kita simak berikut ini. Dalam pemenangan pilpres, ada sejumlah variabel yang sangat menentukan dalam pemenangan. Yakni, istana (baca: Jokowi), parpol, TNI, Polri, ASN, organisasi massa, dan sejumlah elemen masyarakat seperti para relawan Program Keluarga Harapan (PKH). Namun, kali ini saya tidak akan membahas banyak terkait hal itu.
Saya lebih tertarik membedah masing-masing dari tiga nama itu. Bagaimana peluang dan tantangan yang dihadapi?
Prabowo Subianto
Pensiunan jenderal bintang tiga TNI-AD ini boleh dibilang sebagai front runner dalam Pilpres ke depan. Dia mempunyai banyak modal untuk itu. Mengikuti tiga gelaran pilpres, Prabowo Subianto ini sudah mentok level popularitasnya. Rata-rata di semua survei menunjukkan angka di atas 90 persen. Tentu saja, popularitas ini ketika kemudian dikonversi menjadi akseptabilitas (ketersukaan) yang kemudian dikonversi lagi menjadi elektabilitas (keterpilihan), angkanya akan menjadi sangat kecil. Berkisar antara 25 – 35 persen. Angka yang lumayan tinggi bagi siapa pun untuk maju dalam kontestasi pemilu.
Selain itu, tidak percuma Prabowo Subianto melontarkan kelakar “kan, kali ini partai saya agak kuat” saat merayakan Idul Fitri di kediaman Presiden Jokowi di Solo. Sigi terakhir menunjukkan bahwa elektabilitas Gerindra sudah hampir menyaingi PDIP. Bahkan sudah dalam wilayah margin. Artinya, Gerindra akan menempel ketat perolehan suara PDIP dalam Pileg mendatang.
Selain itu, sikap Prabowo yang lebih suka merendah, lovable sangat menyenangkan publik. Nyaris tidak ada kesalahan politik yang dilakukannya. Apalagi, admin medsosnya sungguh jago. Dia tidak pernah norak menampilkan ucapan selamat kepada insan Indonesia yang berprestasi. Beda dengan banyak tokoh lainnya yang norak menampilkan profil dirinya begitu besar dan menjadikan timnas Indonesia yang baru saja berprestasi begitu kecil sehingga menjadi latar belakang. Sehingga, medsos Prabowo menuai banyak pujian. Ditambah lagi, admin Twitter Gerindra yang sangat oke interaksinya di medsos. Mampu berbahasa dalam bahasa netizen dengan baik, sehingga menambahkan ujian.
Ditambah lagi, isu ketegangan hubungan antara Presiden Jokowi vs PDIP juga akan sangat menguntungkan dirinya. Apalagi, Prabowo dalam banyak hal menampilkan sosok yang sangat menghormati presiden. Dan juga menampilkan kesan siap menjadi bumper presiden (sesuatu yang saya percaya bahwa di balik itu, Prabowo memang benar-benar menjadi sosok yang bisa menjamin soft landing Jokowi dalam banyak hal). Konon, kabarnya Prabowo berkomitmen untuk menyusun kabinetnya di kediaman Jokowi di Solo. Tentu saja, jika dia terpilih sebagai presiden.
Faktor Jokowi ini memang sangat penting. Lepas dari rapor merahnya soal penegakan hukum, lingkungan hidup, dan kebijakan ekonominya, sejumlah lembaga survei memindai bahwa Jokowi masih bisa membawakan suara 10 hingga 15 persen kepada calon yang didukungnya. Ini adalah sebuah angka yang cukup besar dan bisa sangat menentukan.
Selain itu, Prabowo juga diuntungkan oleh ingatan kolektif masyarakat Indonesia yang pendek. Banyak pemilih sekarang yang sudah tidak ingat track record Prabowo yang buruk di bidang HAM. Terutama saat reformasi 1998 lalu. Setidaknya, ada indikasi keterlibatan Prabowo yang kuat terkait penghilangan aktivis saat refromasi lalu. Sebuah catatan yang sempat membuat panas rapat kerja parlemen Australia yang mempertanyakan kepada menteri yang hadir kenapa harus menghadirkan Prabowo yang mempunyai catatan HAM yang buruk dua pekan lalu.
Salah satu kelemahan Prabowo selain catatan HAM-nya yang buruk, juga ada pada usianya. Memasuki usia 72 tahun saat Pilpres berlangsung tentu saja akan menimbulkan banyak keraguan.
Tapi, apa pun, Prabowo Subianto kini memasuki salah satu momen paling penting dan menentukan dalam sejarah hidupnya: tak pernah lebih baik lagi situasi politiknya untuk memenangkan Pilpres. Peluangnya akan semakin menguat jika MK mengubah putusan mengenai batasan usia capres-cawapres dan kemudian bersanding dengan Gibran Rakabuming dalam Pilpres mendatang.
Ganjar Pranowo
Berambut putih, mempunyai senyum yang segar, dan berwajah menyenangkan. Karakter Ganjar Pranowo ini sudah menanjak sejak 2-3 tahun lalu. Terutama dengan konten-konten medsosnya yang heart-warming. Menyapa seluruh lapisan masyarakat, ibu-ibu, anak-anak, dan kemudian terjadi interaksi yang sangat natural dan menyenangkan. Dia seolah terlahir menjadi politisi. Gayanya sangat natural dan menyenangkan.
Apalagi, pada 2022 lalu, dia menerima banyak serangan dari koleganya sendiri. Mulai dari Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Pacul, hingga bahkan Puan Maharani, putri mahkota Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Hingga bahkan Ganjar sempat dipanggil, dan kemudian disanksi oleh DPP karena dianggap tidak fokus bekerja sebagai Gubernur dan terlena dalam aktivitas kampanyenya. Ketika direpresi sebesar ini, alih-alih turun, elektabilitas Ganjar malah merangkak naik. Sementara Puan yang dijagokan oleh para politisi senayan dari PDIP sekelilingnya yang menamakan diri Dewan Kolonel, tidak beranjak naik. Meski dibantu oleh Kepak Sayap Kebhinekaan sekalipun.
Stabilnya elektabilitas Ganjar ini kemudian membuatnya praktis menjadi satu-satunya kader PDIP yang mampu bersaing dengan dua nama besar lainnya: Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Inilah kemudian fakta yang tidak bisa dielakkan. Karena Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, lepas dari banyak mitos mengenainya, sebenarnya adalah sosok yang menghargai data dan fakta, akhirnya resmi memilih Ganjar sebagai jagoannya di Pilpres 2024 mendatang.
Ini adalah dukungan yang tidak main-main. PDIP adalah parpol terbesar di Indonesia. Perolehan suaranya pada Pileg 2019 lalu membuatnya bisa mengusung calon sendiri tanpa harus koalisi. Mesin politiknya adalah mesin politik organik terbaik di Indonesia saat ini. Lihat saja di Solo, Surabaya, dan sejumlah kota lainnya. Parpol ini mempunyai massa riil di kalangan akar rumput. Juga mempunyai caleg-caleg yang sangat mengakar dan mau bertarung untuk konstituennya. Sehingga, setiap hajatan politik apa pun, massa PDIP adalah massa yang paling solid. Buktinya, mereka bisa bergotong royong bikin posko secara mandiri, dan bersedia nongkrong tanpa ada insentif uang sekalipun. Mungkin butuh satu generasi untuk kehilangan dominasi. Dengan catatan, parpol ini sama sekali tidak melakukan kaderisasi.
Ditambah lagi, dengan akses pemerintahan yang luas, PDIP bakal mempunyai tambahan kekuatan untuk berlaga. PKH, kemudian plt-plt Gubernur/Bupati/Kepala Daerah adalah amunisi yang sangat kuat.
Mengenai pencalonannya, banyak yang menyebut bahwa Ganjar membayar terlalu mahal untuk pencalonannya. Bahkan mungkin membayar dengan kekalahannya. Yang pertama, banyak yang menganggap bahwa Ganjar akhirnya dicalonkan setelah lulus dari tes yang justru membuat elektabilitasnya terpuruk. Yakni, menyatakan secara terbuka penolakannya atas kehadiran timnas Israel yang berujung dibatalkannya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 di detik-detik terakhir.
Meski Ganjar dan PDIP membungkus penolakan itu dengan alasan-alasan ideologis seperti Pancasila, tapi tetap saja banyak yang menganggap alasan itu fals. Yang pertama, Ganjar ini bukan tokoh yang kerap membahas masalah internasional. Malahan, tidak pernah. Lah kok tiada hujan tiada angin, tiba-tiba saja menyatakan sikap yang seharusnya disalurkan melalui Kemenlu. Yang kedua, pada faktanya, atlet Israel sudah beberapa kali datang dan bahkan parlemen Israel sempat mempunyai acara resmi di Bali dan diterima oleh, percaya atau tidak, Puan Maharani sendiri. Ini sangat ambigu, bagaimana mungkin Puan bisa menerima delegasi parlemen Israel, sementara Ganjar menolak dengan alasan Pancasila. Apakah itu berarti Ganjar menohok sikap Puan?
Apa pun alasannya, elektabilitas Ganjar melorot drastis. Sejumlah survei menyebut hingga enam persen. Selain itu, efek jangka panjangnya juga parah. Luka akibat sepakbola itu sangat dalam, dan Ganjar praktis tidak disukai oleh banyak komunitas supporter -sebuah komunitas yang tidak bisa diremehkan kuantitas dan kualitasnya. Lihat saja kolom reply di medsos Ganjar ketika mengajak personel timnas Indonesia yang baru saja meraih emas di Sea-Games lalu. Nyaris semuanya menghujat. Singkat cerita, tiap bersentuhan dengan bola, Ganjar akan selalu mendapat impresi negatif. Dan celakanya, banyak momen sepakbola akbar yang tampaknya akan lebih sering terjadi.
Yang kedua, adalah sikap PDIP sendiri terkait status Ganjar. “Petugas partai” mempunyai konotasi yang sangat negatif. Dan celakanya, itu pula yang ditekankan oleh Mega, atau DPP, untuk Ganjar sampaikan ke publik. Membuat Ganjar tak lebih dari sekedar calon boneka. Tak punya daya apa-apa, dan membuatnya tampak seperti sangat lemah.
Belum lagi dengan sikap PDIP yang terkesan eksklusif. Seperti perlakuannya pada PSI, yang sudah mengusung Ganjar terlebih dahulu. PSI seolah dianggap seperti angin lalu, dan entitas kecil yang mengganggu. Ini tentu saja sebuah sikap politik yang tidak pas dalam kontestasi. Seharusnya partai yang punya hajatan itu menggalang dukungan yang lebih luas, tapi ini PDIP malah memperlakukan PSI seperti “eh, elu itu siapa. Anak kecil aja mau ikut-ikutan pansos.”
Juga, kinerja Ganjar saat memimpin Jateng. Meski mengklaim sejumlah penghargaan, sejumlah kabupaten di Jateng masih sangat tertinggal dibandingkan Jawa Barat/Jawa Timur. Sejumlah indikator seperti pembangunan infrastruktur dan sebagainya juga tidak istimewa banget, jika tidak mau disebut buruk.
Ini adalah hal-hal yang tidak akan mudah dibalikkan, dan Ganjar harus kerja keras untuk bisa menjadi presiden terpilih pada 2024 mendatang. Toh, bagaimanapun juga, tabungan elektabilitasnya masih sangat tinggi. Tantangannya adalah mencari siapa wakil presidennya.
Anies Baswedan
Kinerjanya sebagai gubernur “tidak istimewa”, mempunyai pendukung sebanyak hatersnya, terindikasi menggunakan politik identitas, dan dianggap hanya mempunyai keunggulan retorika, namun bisa jadi Anies Baswedan ini lah pemenang pasti dalam Pilpres kali ini. Dia mungkin tidak akan menjadi presiden (peluangnya sangat tipis), namun dia pasti akan menjadi pemenang. Sekalipun tercecer dari dua kandidat lainnya, boleh dibilang tugas Anies sekarang adalah memastikan tiket pencalonan saja.
Jika kondisinya ceteris paribus seperti sekarang ini, maka Anies akan berada di peringkat ketiga dengan raihan 20 persen sampai 25 persen suara. Maka yang maju ke putaran kedua adalah pasangan Prabowo vs pasangan Ganjar. Nah, siapa yang menang, kemungkinan akan dipastikan oleh ke mana dukungan Anies.
Di sinilah kemenangan Anies muncul. Dia tinggal berhitung ke arah mana melabuhkan dukungan. Call-nya akan sangat tinggi. Setidaknya jabatan Menteri Koordinator bisa di tangan. Atau apa pun lah yang membuat namanya tetap ada dalam spotlight untuk pertarungan lima tahun ke depan.
Terlebih lagi, jika Anies bisa lolos ke putaran kedua. Dengan situasi di mana dua kubu nasionalis bertarung sangat keras, besar kemungkinan dia akan menerima dukungan dari salah satu kubu nasionalis yang kalah.
Jadi, tugas Anies dalam Pilpres 2024 kali ini sungguh sederhana. Tinggal memastikan tiket pencalonannya saja. Yang celakanya, Koalisi Perubahan yang digalang Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat adalah koalisi yang lemah. Demokrat bisa berganti kubu, Nasdem juga mungkin akan menyerah ketika terus dihajar. Selain dua menterinya (kemungkinan) jadi tersangka, bisnis Surya Paloh juga bisa terganggu. Kasihan? Tidak lah, Surya Paloh sudah terlalu kaya dan terlalu lama menikmati privilege untuk menjadi kaya dengan menggunakan kekuasaannya.
Setelah membaca di atas, ternyata Pilpres tidak sederhana menang dan kalah. Ada pihak yang walau kalah, tapi tetap menang.
Jadi, siapa jagoan Anda dalam Pilpres 2024 mendatang? Tidak masalah jika ternyata tidak memilih karena tidak sreg dengan tiga nama yang memang tidak istimewa sama sekali tersebut. Karena saya menduga, Anda tidak sendirian dan banyak yang berpikiran seperti Anda.