Kampanye di Kampus, Muhammadiyah Tak Beri Izin

JAKARTA- PP Muhammadiyah ikut merespon putusan MK yang memperbolehkan kampanye di lembaga pendidikan. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, keputusan MK yang memperbolehkan kampus untuk kampanye akan berdampak buruk terhadap dinamika politik.

Selain itu, kampanye di kampus juga akan berdampak buruk terhadap kegiatan akademik di kampus. “Tarik menarik kepentingan politik di kampus akan semakin kuat,” terang Mu’ti kepada Jawa Pos kemarin.

Guru besar pendidikan agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan, walaupun diperbolehkan, lembaga pendidikan Muhammadiyah akan sangat berhati-hati. “Bahkan mungkin tidak memberikan izin kampanye di kampus,” tegasnya.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI Aminurokhman menyambut baik putusan MK yang mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan. Menurut Amin, kegiatan kampanye di sekolah dan kampus dapat menjadi pendidikan politik bagi pelajar dan mahasiswa.

Pada akhirnya, kata dia, para pemuda merupakan penerus tongkat estafet yang harus diberikan ruang pendidikan politik yang berlangsung secara baik.

Politisi Fraksi Partai Nasdem itu mengatakan, generasi muda saat ini kurang mendapat pendidikan politik yang baik, sehingga kurang peduli dengan masalah di sekitarnya.

Menurutnya, daripada mereka mengetahui dari media sosial yang diframe pihak tertentu, lebih baik mereka mendengar dan melihat langsung. “Kami akan atur agar tidak mengganggu aktivitas sekolah, karena selama ini sudah melakukan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan,” tegasnya.

Legislator Dapil Jawa Timur II itu menyatakan, kegiatan kampanye di sekolah maupun di kampus harus sesuai aturan yang berlaku. Yang penting tidak boleh melakukan intimidasi, karena konteksnya proses pendidikan politik. Dan tidak boleh ada simbol partai masuk ke sekolah.

Sebelumnya, MK mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).

Dalam perkara itu, pemohon Handrey Mantiri dan Ong Yenni, menilai ada inkonsistensi aturan terkait aturan dalam UU  No. 7/2017 tentang Pemilu. (kafi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *