Setelah PAN dan Golkar mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo Subianto, suhu politik semakin memanas. Koalisi besar yang mengantongi 265 kursi atau 46,09 persen kursi di DPR RI itu menggetarkan lawan politiknya.
Terutama Koalisi PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (Capres). Kegusaran partai banteng itu terlihat dari langkah politiknya yang menyerang Koalisi Prabowo yang disokong empat partai parlemen.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto langsung menyatakan bahwa Presiden Jokowi tidak mendukung Prabowo. Relawan Ganjar juga melaporkan kubu Prabowo ke Bawaslu RI, karena dianggap melakukan kampanye dan menyalahgunakan tempat bersejarah Museum Proklamasi.
Selanjutnya, Sekjen Hasto juga mengkritik keras proyek food estate yang menjadi program Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Apakah serangan-serangan itu tidak menunjukkan kegusaran dan kegentaran PDIP?
Selain dikeroyok koalisi besar, PDIP juga menghadapi ketidaksolidan internal partai dan koalisi. Ketidaksolidan internal PDIP itu terlihat dari membelotnya beberapa kader banteng yang mendukung Prabowo.
Setelah Effendi Simbolon memuji-muji Prabowo, sekarang Budiman Sudjatmiko terang-terangan mendukung Prabowo dan membentuk relawan Prabowo – Budiman alias Prabu.
Sedangkan ketidaksolidan internal koalisi pendukung Ganjar, telihat dari sikap PPP. Selama ini, partai kakbah ngotot mengajukan nama Sandiaga Uno menjadi cawapres Ganjar.
PDIP menanggapinya dengan sinis. Bahkan, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah mempersilahkan PPP keluar dari koalisi jika tetap ngotot soal cawapres.
Jika PPP keluar, praktis hanya tinggal partai non parlemen yang mendukungnya, Partai Perindo dan Partai Hanura. Tentu, dukungan partai kecil itu tidak terlalu berarti.
Tantangan berikutnya bagi PDIP adalah elektabilitas Ganjar yang kalah dengan Prabowo. Kita ambil hasil survei terbaru dari tiga lembaga. LSI Denny JA, Indikator Politik Indonesia (IPI), dan Voxpol Center.
Survei LSI Denny JA, Prabowo 38,2 persen, Ganjar 35,3 persen, Anies 18,4 persen. Survei Indikator, Prabowo 48 persen, Anies 39,5 persen, Ganjar 6,2 persen. Terakhir survei Voxpol, Prabowo 36,5 persen, Ganjar 30,4 persen, dan Anies 26,4 persen.
Terlepas dari pesanan atau tidak hasil survei itu, tapi angka elektabilitas itu cukup menggelisahkan bagi PDIP.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan Presiden Jokowi. Jokowi memang tidak secara terang-terangan mendukung, baik sekarang maupun sampai Pilpres 2024 selesai.
Dukungan Jokowi itu ibarat kentut, bisa dirasakan gerak-gerik dan dampaknya, tapi sulit membuktikannya. Kemanakah politik kentut Jokowi saat ini? Jika melihat politik yang tampak di permukaan, Jokowi lebih condong ke Prabowo.
Politik kentut Jokowi itu terlihat dari banyaknya relawan Jokowi yang mendukung Prabowo. Bahkan, relawan Gibran pun ikut dukung Prabowo.
Pernyataan elite PDIP sendiri yang berulangkali menyatakan bahwa Presiden Jokowi mendukung Ganjar dan tidak mendukung Prabowo, hal itu menunjukkan sebaliknya.
Di sini berlaku politik kebalikan. Jika Jokowi sebagai kader PDIP mendukung Ganjar, lalu kenapa PDIP selalu berulang-ulang menegaskan Jokowi mendukung Ganjar?
Pernyataan yang berulang-ulang disampaikan itu berarti menandakan ada keraguan dan ketidakpastian. Ketidakpastian Jokowi mendukung Ganjar, sehingga narasi dukungan harus digaungkan. Kalau sudah pasti kenapa digembar-gemborkan? Wong kader sendiri.
Kedekatan Prabowo dengan Gibran Rakabuming Raka juga bertanda bahwa ada dukungan dan restu Jokowi di belakangnya. Apakah karena kedekatan Prabowo – Gibran, DPD PDIP Jawa Tengah tidak mengundang Gibran dalam acara konsidasi kepala daerah?
Reaksi itu jelas menunjukkan bahwa PDIP ketar-ketir, Jokowi akan mendukung Prabowo. Bahkan, menjadikan Gibran sebagai cawapres. Hal itu sangat berkaitan dengan gugatan batas usia minimal ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Melihat perkembangan gugatan di MK, PDIP mulai mengatur strategi. Yaitu, menggandeng Gibran sebagai cawapres Ganjar, jika gugatan batas usia itu diterima MK.
PDIP masih akan menghadapi tantangan yang tidak gampang. Politik penuh ketidakpastian. Segalanya akan lebih mudah, jika Jokowi kembali mesra dengan PDIP.